Nama
: Naiful Arifin
Absen
: 20
Kelas : XII IPA 1
SINOPSIS
Judul
buku : Panggil aku Kartini saja
Pengarang : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : HASTA MITRA
Kota Terbit : Jakarta
Jumlah halaman :
262 halaman
Sinopsis :
Perang Diponegoro telah usai dan
pendudukan Kolonial Belanda menanggung begitu banyak hutang material. Perang
ini merupakan perang termahal yang pernah dialami. Untuk mengatasi itu Van Den
Bosch diberangkatkan ke Jawa dan bertugas untuk memimpin dan menstabilkan
keuangan kembali. Tercetuslah ide tanam paksa yang begitu menyiksa warga
pribumi. Dimana pribumi dipaksa untuk bekerja tanpa imbalan bahkan penghidupan
yang layak. Setelah sekian lama sistem ini berlangsung keuangan Belanda kembali
terisi dan stabil, namun disisi lain terjadi gejolak oleh golongan liberal
ialah Multatulis atau Dowes Dekker. Secara diam-diam atau terang-terangan ia
mulai mengecam negrinya sendiri yang mengekploitasi Hindia-Belanda tanpa belas
kasihan. Perjuangannya melalui tulisan penanya justru menghantarkan dirinya
dibuang dari jawa. Dan kondisi pribumi pun masih tetap dalam kemiskinan dan
kelaparan khususnya daerah Demak, Kudus , Grobogan dan Jepara karena kerja
Rodi.
Para Bupati yang bertindak sebagai
pemimpin pribumi seoalah tidak bertindak secara jelas, bisa dikatakan mereka
terikat di sangkar penyamun. Termasuk leluhur Kartini R.M.A Tjondronegoro
Bupati Kudus, seorang yang feodal yang begitu patuh akan adatnya. Ayah kartini
R.M.A Sosroningrat seorang Bupati Jepara mulai memberanikan diri untuk menulis
nota protes akan kekejaman dan kriminasi pendidikan kepada rakyat pribumi. Kartini
adalah sosok yang hormat terhadap leluhurnya bisa dikatakan sifat kejiwaan yang
mengalir dari kakeknya terdahulu. Sosok kartini yang lahir 21 April 1879
merupakan sebuah pengharapan yang besar bagi masyarakat Jepara. Entah siapa
yang memberikan nama Kartini apakah ibu atau ayahnya.
Masa kecil Kartini dipenuhi dengan
persoalan pelik yang seharusnya makanan sehari hari orang dewasa. Dimulai saat
ia ingin mencoba sekolah rendahan yang tidak semua anak dapat mencobanya
terkusus bagi seorang wanita. Dihari pertamanya bersekolah ia sudah mendapat
diskriminasi dari gurunya, maklum dia orang Belanda. Dia selalu bertanya-tanya
kepada ayahnya kenapa ia selalu mendapat perlakuan diskriminasi di sekolahnya,
dan ayahnya hanya dapat menjawab seorang wanita tidak seharusnya di bangku
sekolah apalagi wanita pribumi. Kartini memang cenderung anak si bapak, entah
mengapa tidak diceritakan tentang ibunya dalam tulisan-tulisannya. Dapat
dianalisis bahwa memang ibunya keturunan rakyat biasa bukan golongan ningrat
sedangkan ayahnya adalah seorang Bupati. Jadi memang Kartini memiliki ibu tua
dan ibu muda, tapi sudahlah terbukti ayahnya adalah segalanya baginya. Kartini
juga memiliki saudara kakak dan adik, namun sikap mereka seringkali tak acuh
kepadanya. Karena,sebagai seorang anak perempuan dia sudah mempunyai daya
analisis dan kepekaan yang tinggi sehingga membuat kakaknya kepayahan untuk
menanggapi.
Menginjak masa remajan sinar
matahari mulai hilang dari pandangannya. Kembalilah feodalisme yang berkuasa di
rumahnya. Dia dipingit, keseharian didalam yang ia katakana sebuah tembok 4
sisi yang kokoh menjulang tinggi keatas menjauhkannya dari dunia luar. Sungguh
tersiksa Kartini dalam masa pingitan itu sebagai seorang jawa yang taat
adatnya. Didalam sana tidaklah ia hanya berdiam , dia selalu berkomunikasi
melalui surat dengan sahabat-sahabatnya. Dia juga selalu menulis catatan soal
bagiamana nasib sebangsanya. Nasib rakyat Jepara yang masih dirundung kelaparan
ditindas Belanda dan nasibnya dibawah tekanan penganut feudal. Baru diiusianya
menginjak 18 tahun kembali lagi dapat menghirup udara luar, berkat dia diajak
ke Mataram sepupunya. Disana dimulailah Kartini bebas berekspresi dan
tulisannya dimuat oleh surat kabar Belanda. Kartini ini walaupun hanya lulusan
sekolah rendahan kemampuan berbahasa Belanda yang hebat.
Melalui tulisan dia mulai belajar
kembali tentang Dunia Barat, lebih dalam dari sebelumnya. Dalam petualangannya
di dunia luar Kartini menemukan teman yang juga ahli bahasa belanda. Bersama
teman-temannya dari Jawa Barat itu Kartini terus menulis sebuah catatan dan
diterbitkan di surat-surat kabar Belanda. Kartini terus berkampanye akan
kesamaan derajat bagi perempuan khususnya dalam bidang pendidikan. Lebih dari
itu juga Kartini juga menyuarakan tentang perasaannya yang tidak begitu nyaman
dengan feodalisme yang selama ini selalu meliputi hidupnya. Sehingga dalam
suatu tulisannya dia ingin menghilangkan segala titipan gelar leluhurnya.
Panggil aku Kartini saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar