Rabu, 05 Oktober 2016

SINOPSIS "Panggil Aku Kartini Saja"

Nama : Naiful Arifin
Absen :                20
            Kelas :     XII IPA 1
SINOPSIS
Judul buku      : Panggil aku Kartini saja
Pengarang       : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit           : HASTA MITRA
Kota Terbit      : Jakarta
Jumlah halaman : 262 halaman
Sinopsis           :
            Perang Diponegoro telah usai dan pendudukan Kolonial Belanda menanggung begitu banyak hutang material. Perang ini merupakan perang termahal yang pernah dialami. Untuk mengatasi itu Van Den Bosch diberangkatkan ke Jawa dan bertugas untuk memimpin dan menstabilkan keuangan kembali. Tercetuslah ide tanam paksa yang begitu menyiksa warga pribumi. Dimana pribumi dipaksa untuk bekerja tanpa imbalan bahkan penghidupan yang layak. Setelah sekian lama sistem ini berlangsung keuangan Belanda kembali terisi dan stabil, namun disisi lain terjadi gejolak oleh golongan liberal ialah Multatulis atau Dowes Dekker. Secara diam-diam atau terang-terangan ia mulai mengecam negrinya sendiri yang mengekploitasi Hindia-Belanda tanpa belas kasihan. Perjuangannya melalui tulisan penanya justru menghantarkan dirinya dibuang dari jawa. Dan kondisi pribumi pun masih tetap dalam kemiskinan dan kelaparan khususnya daerah Demak, Kudus , Grobogan dan Jepara karena kerja Rodi.
            Para Bupati yang bertindak sebagai pemimpin pribumi seoalah tidak bertindak secara jelas, bisa dikatakan mereka terikat di sangkar penyamun. Termasuk leluhur Kartini R.M.A Tjondronegoro Bupati Kudus, seorang yang feodal yang begitu patuh akan adatnya. Ayah kartini R.M.A Sosroningrat seorang Bupati Jepara mulai memberanikan diri untuk menulis nota protes akan kekejaman dan kriminasi pendidikan kepada rakyat pribumi. Kartini adalah sosok yang hormat terhadap leluhurnya bisa dikatakan sifat kejiwaan yang mengalir dari kakeknya terdahulu. Sosok kartini yang lahir 21 April 1879 merupakan sebuah pengharapan yang besar bagi masyarakat Jepara. Entah siapa yang memberikan nama Kartini apakah ibu atau ayahnya.
            Masa kecil Kartini dipenuhi dengan persoalan pelik yang seharusnya makanan sehari hari orang dewasa. Dimulai saat ia ingin mencoba sekolah rendahan yang tidak semua anak dapat mencobanya terkusus bagi seorang wanita. Dihari pertamanya bersekolah ia sudah mendapat diskriminasi dari gurunya, maklum dia orang Belanda. Dia selalu bertanya-tanya kepada ayahnya kenapa ia selalu mendapat perlakuan diskriminasi di sekolahnya, dan ayahnya hanya dapat menjawab seorang wanita tidak seharusnya di bangku sekolah apalagi wanita pribumi. Kartini memang cenderung anak si bapak, entah mengapa tidak diceritakan tentang ibunya dalam tulisan-tulisannya. Dapat dianalisis bahwa memang ibunya keturunan rakyat biasa bukan golongan ningrat sedangkan ayahnya adalah seorang Bupati. Jadi memang Kartini memiliki ibu tua dan ibu muda, tapi sudahlah terbukti ayahnya adalah segalanya baginya. Kartini juga memiliki saudara kakak dan adik, namun sikap mereka seringkali tak acuh kepadanya. Karena,sebagai seorang anak perempuan dia sudah mempunyai daya analisis dan kepekaan yang tinggi sehingga membuat kakaknya kepayahan untuk menanggapi.
            Menginjak masa remajan sinar matahari mulai hilang dari pandangannya. Kembalilah feodalisme yang berkuasa di rumahnya. Dia dipingit, keseharian didalam yang ia katakana sebuah tembok 4 sisi yang kokoh menjulang tinggi keatas menjauhkannya dari dunia luar. Sungguh tersiksa Kartini dalam masa pingitan itu sebagai seorang jawa yang taat adatnya. Didalam sana tidaklah ia hanya berdiam , dia selalu berkomunikasi melalui surat dengan sahabat-sahabatnya. Dia juga selalu menulis catatan soal bagiamana nasib sebangsanya. Nasib rakyat Jepara yang masih dirundung kelaparan ditindas Belanda dan nasibnya dibawah tekanan penganut feudal. Baru diiusianya menginjak 18 tahun kembali lagi dapat menghirup udara luar, berkat dia diajak ke Mataram sepupunya. Disana dimulailah Kartini bebas berekspresi dan tulisannya dimuat oleh surat kabar Belanda. Kartini ini walaupun hanya lulusan sekolah rendahan kemampuan berbahasa Belanda yang hebat.

            Melalui tulisan dia mulai belajar kembali tentang Dunia Barat, lebih dalam dari sebelumnya. Dalam petualangannya di dunia luar Kartini menemukan teman yang juga ahli bahasa belanda. Bersama teman-temannya dari Jawa Barat itu Kartini terus menulis sebuah catatan dan diterbitkan di surat-surat kabar Belanda. Kartini terus berkampanye akan kesamaan derajat bagi perempuan khususnya dalam bidang pendidikan. Lebih dari itu juga Kartini juga menyuarakan tentang perasaannya yang tidak begitu nyaman dengan feodalisme yang selama ini selalu meliputi hidupnya. Sehingga dalam suatu tulisannya dia ingin menghilangkan segala titipan gelar leluhurnya. Panggil aku Kartini saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar